Sunday, August 16, 2009

OUd Batavia Part 1 Museum Fatahillah


meriam jagur yang unik dan katanya magis

Tahu gak kalau J.P.Coen itu tingginya 3 meter?, trus pernah gak bertanya kalau istilah "duit" yang berarti uang itu asalnya dari mana? itu pengetahuan baru yang aku dan keluargaku dapatkan dari perjalanan kali ini. And I'm gonna share it with you.

Awalnya long weekend kali ini kami tidak akan kemana-mana, ada sih kepikiran buat jalan ke luar kota seperti Bandung atau Puncak, tapi begitu membayangkan macetnya, jadi keder juga. Tapi setelah dipikir lagi rasanya sayang deh kalau long weekend yang agak-agak langka cuma dihabiskan dirumah dan sekitar BSD, akhirnya kepikiran juga untuk mengunjungi oud Batavia atau kawasan kota tua Jakarta.

Memang ya, google is really my soul mate for this kind of thing, karena walaupun sudah tinggal selama 7 tahun di Jakarta dan sekitarnya aku sama sekali belum pernah menapakkan kaki di daerah kota tua (yang tersebar mulai dari stasiun kota sampai daerah pelabuhan sunda kepala). Pas googling ternyata banyak tempat yang ditawarkan untuk dikunjungi. Pilih punya pilih akhirnya ada beberapa tempat yang kami pilih yaitu museum Fatahillah, kampung Bahari, Pecinan Glodok, Jembatan Intan, dan museum wayang. Tujuan pertama adalah museum Fatahillah yang dulunya adalah staad Huis atau Balai kota Batavia.

Pertama kali sampai di pelataran museum ternyata lumayan ramai lho pengunjungnya, dan setelah membayar tiket masuk yang menurut aku kelewat murah (Rp.2000 untuk dewasa dan Rp.600 (???) buat anak-anak)kami memutuskan untuk memakai guide yang memang disediakan oleh pihak museum, biar lebih afdhal. Pilihan yang berakhir sangat baik. Selama kurang lebih 2 jam berkeliling, pengetahuan kami tentang isi museum dan sejarah Jakarta agak nambah. Kalau sempat gak pake guide yang ada mungkin kami akan bingung melihat koleksi museum ini.

Nah pengetahuan yang kami dapat lumayan unik dan bikin aku bersyukur banget hidup di zaman merdeka..ck ck ck, walaupun memang katanya masa Belanda lebih gak kejam dibandingkan Jepang, tetap aja merana banget nasib nenek moyang kita dulu. Bukan cuma kekejaman Daendels yang maksa bikin jalan Anyer-Panarukan dan rel kereta Jakarta-Surabaya, yang lain lebih banyak.

Pas ngelihat penjara misalnya, penjara laki-laki berbentuk kubah dan kalau ngebayangin kakek-kakek kita zaman dulu, jelas kayaknya mereka gak akan bisa berdiri bebas. dan aliran udaranya cuma ada 1 yaitu dari jendela yang ukurannya gak nyampe 2 meter. Dan di dalam ruangan penjara itu biasanya memuat 100 orang, bahkan pada saat pembantaian kaum tionghoa tahun 1793 penjara itu dipaksa untuk memuat 150 orang. Ngerinya lagi semua kegiatan dilakukan disana, dari BAK, BAB, huh...beneran deh harus bersyukur jadi orang merdeka. Penjara wanitanya kalau menurut Syahan lebih kejam..ha..ha..ha, agak tergenang air dan gelap karena berada di ruangan bawah tanah. Cut Nyak Dhien sempat dipenjara disana sebelum akhirnya dipindahkan ke Sumedang. Air minum buat tahanan, ya..sama deh dengan air minum buat kuda. Ada juga bunker tempat menghukum orang, katanya zaman dulu orang yang dihukum (kalau gak dihukum mati), bakalan diikat tangan dan kakinya, trus dimasukkan ke bunker yang berisi air sedada...dan kedalam air dimasukkan lintah..ueghhh.


pintu menuju balkon pengumuman eksekusi

Koleksi museumnya lumayan banyak walaupun sayangnya kurang terawat, dibagian luar ada patung dan meriam Jagur yang benar-benar unuk dan dipercaya berdaya magis, bahkan menurut guide-nya dipercaya menyuburkan kandungan wanita (masa sih?..)ada lukisan-lukisan, ukiran yang luar biasa rapi dan terbuat dari jati besi, perabotan, prasasti, beliung, guci, dst. Nah dari cerita guide-nya kami tahu kalau di abad 19 ada pasangan hartawan belanda baik budi yang doyan membagi kupon sembako namanya keluarga De Witt, konon dari namanya inilah orang batavia menyebut uang dengan sebutan duit. juga tahu kalau Balai Kota ini juga dipakai sebagai ruang pengadilan, tempat eksekusi mati juga. Nah, zaman dulu kalau hakim udah memutuskan buat menghukum seseorang, dia tinggal teriak aja dari balkon atas, lonceng dibunyikan untuk mengumpulkan masa dan para eksekutor dan algojo melaksanakan perintahnya di panggung bawah, ini jadi tontonan dan hiburan lho, bayakngkan aja dalam sehari bisa sampai ada 8 orang yang dihukum mati. Dan tahanan yang mau dihukum gak pernah tahu mereka bakal diapakan, karena mereka sama sekali gak pernah mengikuti sidang, so unfair. Mana cara memenggal kepalanya bukan cuma sekali, tapi berkali-kali biar seru (pshycotic banget kan).

Keluar dari museum rencananya mau mengunjungi museum wayang dan keramik yang ada di bangunan lain di kanan dan kiri museum Fatahillah, tapi sepertinya anak-anak udah mulai bosan, dan gak pengen maksa juga karena takutnya malah anti kalau diajak ke museum lagi. Akhirnya kami bersantai di Cafe Batavia yang nyaman dan sejuk sambil bersyukur kalau kami dan keluarga hidup di zaman bebas merdeka buah hasil perjuangan orang-orang yang mengorbankan segalanya demi merdeka. Karena sudah lumayan sore (keluar dari museum sekitar jam 2, kami memutuskan menyudahi perjalanan kali ini sambil berjanji akan menelusuri bagian kota tua yang lainnya di kali mendatang.

1 comment:

Anonymous said...

thanks for sharing, like to go there sometime too :)